on Kamis, 08 November 2012

Anda yang tinggal di Sumatera Barat, tepatnya di Sawahlunto mungkin sudah tak asing lagi dengan arsitektural bangunan kota itu. Nah, bagi yang belum pernah ke Sawahlunto, mungkin bisa di lain waku datang kesana dan merasakan sensasi anda berada di sebuah kota yang disebut sebagai belanda kecil.

Mengapa Belanda kecil? Ya, karena banyak yang menyebutkan kota ini  terdapat bangunan-bangunan yang beraristektur seperti bangunan di negeri Belanda, salah satunya adalah Walikotanya sendiri. Seperti yang saya kutip dari situs berita travel, ia bilang hampir seluruh bangunan yang ada di Sawahlunto bergaya barat, seperti bangunan yang ada di Belanda. Suasana Belanda dipertahankan karena hingga pada 1990-an, masih ada ratusan warga keturunan Belanda yang tinggal di kota ini.
sumber foto: www.sawahluntokota.go.id
Belanda Kecil
Benar saja, jika dilihat dari banyaknya gedung di kota arang ini menunjukkan unsur “belanda”, mulai dari Gereja, sekolahan, gedung pemerintahan dibangun dengan arsitektur ala barat, bahkan sampai Museum Kereta Api Sawahlunto.

Museum ini sebelum dijadikan sebagai museum, tadinya merupakan  stasiun kereta yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1918. Museum Kereta Api Sawahlunto ini merupakan satu-satunya museum kereta api yang ada di Sumbar dan museum kereta api ketiga di Indonesia setelah Ambarawa dan Museum Transportasi di Taman Mini Indonesia Indah.

Selain Museum Kereta Api, ada pula Gedung Pusat Kebudayaan yang terletak di Jl. Ahmad Yani No. 4.  Tak kalah tuanya dengan museum itu, gedung ini juga dibangun pada tahun 1910 dengan nama "Gluck Auf" dan memiliki luas 870 meter persegi.

Gedung ini dulunya berfungsi sebagai gedung pertemuan (Societeit), dimana para pejabat pemerintah kolonial pertambangan berkumpul untuk menghibur diri sekaligus berolahraga di salah satu sisi bangunannya yang dijadikan sebagai tempat bermain olahraga boling dan biliar bagi para pejabat Belanda.

Tak hanya kedua bangunan itu, ada lagi bangunan yang bernama Goedang Ransum yang kini telah menjelma tidak lagi sebagai tempat dapur umum, melainkan menjadi sebuah museum. Bangunan ini didirikan pada tahun 1918. Seperti namanya,  Goedang Ransum dibangun sebagai dapur umum, tempatnya memasak para koki untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi pekerja tambang. 

Belum cukuplah sampai di sana, Sawahlunto juga mempunyai Masjid Raya Sawahlunto yang bersejarah lantaran sama seperti bangunan-bangunan di atas yang dibangun pada zaman pemerintahan kolonialis Belanda. Tahun 1894 bangunan ini didirikan  sebagai pusat energi listrik PLTU (power plan) di Kubang Sirakuak untuk menggerakan berbagai mesin mempercepat proses penambangan dan pengangkutan batubara. 

Bangunan ini terus berevolusi perihal fungsi dan peranannya, tempat ini pernah menjadi gudang dan perakitan senjata dimasa revolusi dimana terdapat bungker yang dipergunakan oleh para pejuang kemerdekaan sebagai tempat penyimpanan senjata seperti granat senjata api lainnya. Dan akhirnya  tahun 1952 pada bekas bangunan PLTU yang megah itu, dibangun tempat peribadatan muslim, (sekarang Mesjid Raya Kota Sawahlunto). Sedangkan bekas menara cerobong asap PLTU yang berketinggian lebih dari 75 meter dijadikan menara mesjid.

200 Juta Ton Batubara
Orang-orang Belanda banyak mendirikan bangunan disini  karena daya tarik dari Sawahlunto, yaitu kekayaan alamnya yang berupa kandungan batu-bara yang melimpah ruah. Sawahlunto dalam penelitian yang pernah dilakukan De Greve pada tahun 1867 menyebutkan, kandungan batu bara di kota itu mencapai  200 juta ton batu bara. Kandungan batu bara itu berada di sekitar aliran Batang Ombilin, salah satu sungai yang ada di Sawahlunto.

Setelah hasil penelitian itu diumumkan di Batavia pada tahun 1870,  pemerintah Hindia-Belanda pun mulai membuat perencanan soal pembangunan sarana dan prasarana yang dapat memudahkan eksploitasi batu bara di Sawahlunto. 

Pembangunan dimulai selang beberapa tahun kemudian dan kota ini  mulai memproduksi batu bara pada tahun 1892. Syahdan. Sawah lunto menjelma menjadi kawasan permukiman para pekerja tambang , dan terus berkembang menjadi sebuah kota dengan rata-rata penduduknya berprofesi  sebagai pegawai dan pekerja tambang. 

Di tahun 1889, pemerintah Hindia-Belanda mulai membangun jalur kereta api menuju Kota Padang untuk memudahkan pengangkutan batu bara keluar dari Kota Sawahlunto. Jalur kereta api tersebut mencapai Kota Sawahlunto pada tahun 1894, sehingga sejak angkutan kereta api mulai dioperasikan produksi batu bara di kota ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai ratusan ribu ton per tahunnya. Wow!!!(berbagai sumber)